Musyawarah


Kata Pengantar

          Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT atas kelimpahan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya, tugas yang kami rancang dengan pola pendekatan cooperative learning, dapat terselesaikan tanpa kendala. Shalawat serta Salam tidak lupa kami sanjungkan kepada Nabiullah Muhammad SAW.
     Tugas kelompok ini kami persembahkan sebagai wujud komitmen kami dalam ikut serta untuk mengembangkan penjelasan tentang pengertian Musyawarah dan Demikrasi didalam Agama Islam dan yang dilakukan pada kehidupan bermasyarakat.
     Tugas ini disusun berdasarkan penjelasan yang berkaitan dengan penjelasan tentang pengertian dari Musyawarah dan Demokrasi. Kami menyadari, bahwa tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan yang membangun sangat kami harapkan demi peningkatan pembahasan tentang Musyawarah dan Demokrasi.
              Wassalamu’alaikum.Wr.Wb

                                                                     Hormat kami,

             
                                                                       
                                                                                    Penyusun




DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………..1

BAB I. Pendahuluan
a.       Latar Belakang Masalah…………………………………………………….3
b.      Rumusan Masalah…………………………………………………………...3
c.       Tujuan Penelitian……………………………………………………………3
d.      Manfaat Penelitian……………………………………………………….….3

BAB II. Pembahasan
a.       Pengertian Demokrasi………………………………………………….....4.A
b.      Pengertian Musyawarah………………………………………………..…4.B
c.       Ayat-Ayat Al Qur’an tentang Musyawarah………………………………5.C
1.      Surat Al Baqarah Ayat 233………………………………………5.C1
2.      Surat Ali Imran Ayat 199……………………………………...…5.C2
3.      Surat Asy Syura Ayat 38…………………………………………8.C3
d.      Berdasarkan Qs. Ali Imron ayat 159, ada tiga sikap yang harus tetap dipelihara bagi orang yang bermusyawarah……………………………..9.D1
e.       Kriteria orang yang layak diajak Musyawarah…………………….….…10.E

BAB III.. Penutup
a.       Simpulan…………………………………………………………………...11
b.      Saran…………………………………………………………………….…11

Daftar Pustaka…………………………………………………………………12



















BAB I. Pendahuluan

a.                             Latar Belakang Masalah
 Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.

b.                            Rumusan Masalah
*Apa pengertian dari Demokrasi dan Musyawarah ?
*Ayat-Ayat Al Qur’an apa saja yang terkandung dalam pengertian  Musyawarah ?
*Apa saja sikap yang harus dipelihara pada saat bermusyawarah?
*Apa kriteria orang yang layak untuk diajak bermusyawarah ?

c.                              Tujuan Penelitian
1.     Untuk mengetahui tentang pengertian dari musyawarah dan demokrasi.
2.     Untuk mengetahui surat-surat Al Qur’an yang terkandung dalam pengertian musyawarah.
3.     Untuk mengetahui sikap yang harus dipelihara bagi orang yang melakukan musyawarah.
4.     Untuk mengetahui kriteria orang yang layak diajak musyawarah.
d.                            Manfaat Penelitian
Supaya siswa mengetahui tentang pengertian musyawarah dalam pandangan ISLAM








BAB II. Pembahasan

A.                       Demokrasi

Demokrasi merupakan istilah umum yang berasal dari bahasa Yunani, demos yang artinya rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan berasal dari rakyat dan rakyat merupakan pemegang kedaulatan suatu negara.

Pada sila keempat dari Pancasila, perwujudan demokrasi di Indonesia yang berintikan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilann harus dijiwai dan diinteregasikan dengan sila-sila lainnya. Demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa adalah demokrasi yang berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan berpangkal pada paham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Penekanan demokrasi dalam ajaran Islam adalah musyawarah dalam mengambil suatu keputusan atas suatu masalah (persoalan).

            Dalam Surat Ali Imran Ayat 159, Surat Asy Syura Ayat 38, dan Surat An Nahl Ayat 125 diisyaratkan bahwa segala persoalan, baik yang berkaitan dengan keluarga, masyarakat, organisasi, maupun urusan negara hendaknya dimusyawarahkan.

B.                        Musyawarah

Musyawarah menurut istilah, musyawarah berarti perundingan antara 2 orang atau lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama. Sedangkan   berasal dari bahasa Arab yang terambil dari akar kata syawara yang berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencangkup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain.

Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, pihak yang bermusyawarah itu hendaknya bagaikan lebah. Lebah adalah makhluk yang sangat disiplin, memiliki kerjasama yang sangat mengagumkan, makananya berasal dari sari kembang, hasilnya asalah madu, dan dimanapun hinggap ia tidak pernah merusak dan tidak mengganggu. Itulah gambaran musyawarah dan mestinya demikian pula sifat orang yang melakukan.

Tujuan hidup manusia adalah selamat, sejahtera, aman, dan damai didunia dan di akhirat. Bagaimana mungkin manusia dapat hidup rukun bila mereka tidak mau bermusyawarah dan senantiasa bertikai serta saling mempertahankan pendapat yang belum tentu benar. Berselisih pendapat yang berakhir dengan permusuhan, pertikaian, dan perusakan dilarang oleh Allah SWT. Namun, berbeda pendapat diperbolehkan dan dibenarkan karena merupakan rahmat Allah SWT. Dan juga menggambarkan keanekaragaman berpikir umat Islam.

C.      Ada 3 ayat Al-Qur’an yang akar katanya menunjukkan musyawarah, yaitu :

1.    Surat Al-Baqarah ayat 233

Menjelaskan tentang anjuuran memusyawarahkan segala sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga.
            فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut.Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri
2. Surat Ali Imran ayat 199
Menjelaskan tentang perintah bagi setiap muslim untuk memusyawarahkan segala masalah yang dihadapi orang Islam.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من
بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))

   Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka. 

Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.

      3. Surat Asy Syura ayat 38

menjelaskan tentang pemberian pujian kepada kaum anshor yang bersedia membela Nabi Muhammad yang dilakukan melalui musyawarah di rumah Abu Ayyub Al Anshari.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ(الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
            Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.
            Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
D. Berdasarkan Qs. Ali Imron ayat 159, ada tiga sikap yang harus tetap dipelihara bagi orang yang bermusyawarah, yaitu :

      1. Sikap lemah lembut
                  Lemah lembut => sikap mulai yang sangat dianjurkan oleh agama untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
                  Orang yang bersikap lemah lembut akan memunculkan Akhlakul Karimah lainnya, seperti :
                  *Menghindari tutur kata yang kasar
                  *Menghindari sikap keras kepala
                  *Menghargai pendapat orang lain
      Adapun akibat positif dari sikap lemah lembut adalah tetap terjaganya sikap kekeluargaan  dan kebersamaan.

2. Memberi maaf
            Maaf berati menghapus, yakni mengahapus bekas luka dihati akibat perlakuan pihak lain yang tidak wajar. Sikap mental untuk selalu bersedia memberi maaf akan memunculkan sikap lapang dada. Lapang dada akan menumbuhkan hati tenang dan pikiran jernih. Hati tenang menyebabkan akal dapat memikirkan hal-hal yang brilian.

3. Memohon ampunan dan tawakkal kepada Allah
            Keputusan yang diambil dalam musyawarah, meskipun ditetapkan secara  aklamasi, pati terdapat kekurangan dan kesalahan. Produk manusia tidak ada yang sempurna. Hanya Allah Yang Maha Semourna. Kesadaran akan kekurangan diri akan menumbuhkan sikap :
            *Tidak ada klaim bahwa pendapatnya yang paling benar
            *Membuka diri dari kritik dan saran perbaikan dari siapapun, termasuk dari orang yang pendapatannya belum terpakai, atau orang yang pendapatnya bertentangan dengan pendapatnya.

E. Kriteria Orang Yang Layak Diajak Musyawarah

                  Jumlah peserta musyawarah yang banyak tidak menjadi jaminan hasil musyawarah pasti baik. Peran yang paling menentukan adalah peserta musyawarah. Oleh karena itu Imam Ja’far As Shadiq berpesan sebagai berikut :
                  “Bermusyawarah dalam persoalan-persoalanmu dengan seorang uang memiliki lima hal yaitu : Akal, Lapangdada, Pengalaman, Perhatian dan Taqwa.”
      Orang yang mempunyai kriteria sebagaimana tersebut memungkinkan tercapainya penyelesaian suatu masalah dengan baik.








BAB III. Penutup

a.   Simpulan

Musyawarah merupakan salah satu asas dalam kehidupan bermasyarakat untuk menampung segala pendapat yang berbeda dari berbagai kalangan. Dalam Islam, musyawarah memiliki tempat yang sangat penting ditengah-tengah masyarakat. Jika musyawarah diabaikan, maka semua masalah tidak akan bisa diselesaikan dengan baik, bahkan dapat menimbulkan permusuhan, perpecahan, dan perusakan yang tidak diridhoi Allah SWT.
Pengertian kata ‘musyawarah’ menurut bahasa bearti berembuk atau berunding. Pengertian ‘ musyawarah ‘ menurut istilah bearti perundingan bersama untuk mendapatkan kata mufakat dalam memutuskan sesuatu masalah.
Manfaat musyawarah antara lain sebagai berikut :
1.      Dapat menetapkan suatu keputusan dengan adil dan bijaksan.
2.      Dapat mencari kebenaran, persetujuan, dan kesepakatan bersama yang  mlebih baik.
3.      Dapat menghilangkan sikap otoriter, diktator, dan sikap sewenang-wenang.
4.      Dapat belajar membiasakan mengemukakan pendapat, ide, atau gagasan secara tepat.

b.   Saran


Menyeru atau mengajak manusia untuk senantiasa berada di jalan Allah SWT. Hendaknya dilakukan dalam cara berdialog atau berdiskusi dengan baik dan penuh argumentasi. Tidak bersifat keras kepala serta menyalahkan, melainkan mendengarkan dengan penuh antusias lalu dibahas dengan sikap yang bijaksana, penuh hikmah, dan sabar.
Jika demikian, maka untuk mencapai hasil terbaik dari musyawarah diperlukan hubungan yang harmonis dengan Allah SWT.










Daftar Pustaka

                        a) Latifah dkk.2006.Agama Islam 1.Jakarta:Yudhistira