Detergent machine


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1      Latar Belakang
Deterjen merupakan pembersih sintetis yang terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Salah satu builder yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah  phosphate. Sebagai softener, phosphate memegang peranan penting dalam produk deterjen  karena mampu  menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium  dan  magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Phosphate tidak memiliki daya racun, sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Pemakaian phosphate yang terlalu banyak dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara eutrofikasi yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri. Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya (Hansen, 1994).
Di beberapa negara, penggunaan phosphate dalam deterjen telah dilarang (standar baku mutu kadar limbah cair deterjen di Indonesia < 2 mg/l). Sebagai pelopor penggunaan produk deterjen non phospate, mitra kerja dalam program Teknologi Terapan Terpadu ini telah mengembangkan penggunaan  zeolite dan citrate yang lebih ramah lingkungan sebagai builder dalam deterjen.
Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut (FMC Corporation):
1.      Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
2.      Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air.
3.      Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas.
4.      Additives adalah bahan suplemen / tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk.


2.2            Proses Pencampuran Detergen Bubuk
Proses pencampuran dimaksudkan untuk membuat suatu deterjen yang mempunyai tingkat homogenitas yang tepat.. Kegiatan ini melibatkan berbagai jenis alat pencampur atau mixer (Wirakartakusumah,  1992).
Secara garis besar, proses pencampuran dibagi menjadi 2  yaitu : Emulsifikasi dan Homogenisasi. Menurut Wirakartakusumah (1992), emulsifikasi adalah proses pembentukan suatu campuran yang berasal dari 2 fase yang berbeda. Umumnya ditambahkan komponen ketiga yang berupa emulsifier untuk mempertahankan stabilitas emulsi. Ada dua bentuk jenis emulsi air dalam minyak, atau lemak atau minyak dalam air. Emulsifier bekerja dengan jalan menurunkan tegangan permukaan diantara dua fase, dan dengan demikian mendispersikan aglomerat yang kemungkinan terbentuk hingga menimbulkan efek homogenisasi yang lebih baik. Stabilitas emulsi penting pada sebagian besar bahan pangan berbentuk emulsi seperti susu, es krim, cream, pudding, dan sosis.
Keseragaman derajat campuran pencampuran, dalam diukur dari sampel yang diambil selama pencampuran, dalam hal ini jika komponen yang dicampur telah terdistribusi melalui komponen lain secara random (acak), maka dikatakan pencampuran telah berlangsung dengan baik. Berdasarkan hal ini, maka dapat digunakan suatu prosedur statistik untuk mengetahui derajat pencampuran.
Campuran adalah materi yang terdiri atas dua macam zat atau lebih dan masih memiliki sifat-sifat zat asalnya. Jika kita mencampur minyak dengan air, terlihat ada batas diantara kedua cairan tersebut. Jika kita mencampur air dengan alkohol, batas antara kedua cairan tersebut tidak terlihat. Minyak dan air membentuk campuran heterogen. Campuran heterogen adalah campuran yang tidak serba sama, membentuk dua fasa atau lebih, dan terdapat batas yang jelas di antara fasa-fasa tersebut. Alkohol dan air membentuk campuran homogen. Campuran homogen adalah campuran yang serba sama di seluruh bagiannya dan membentuk satu fasa,  (Wirakartakusumah, 1992).
Homogenisasi adalah operasi ganda penurunan droplet (ukuran partikel) dari fase terdispersi dan sekaligus mendistribusikannya secara uniform ke dalam fase kontinu. Jika fase terdispersi ini adalah liquid, maka yang diperoleh adalah emulsi setelah homogenisasi, dan jika solid yang dihasilkan adalah suspensi. Untuk menghomogenisasi suatu campuran , maka campuran tersebut haruslah mempunyai konsistensi yang mudah untuk diperlakukan seperti fluida, karena homogeniser umumnya dilengkapi dengan pompa (Wirakartakusumah, 1992).
Pencampuran bahan-bahan cair sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan cair, seperti viscositas, kerapatan, jenis alat pencampuran, dan energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan propeller, impeller, atau blade (Fellows, 1988).
Dalam melakukan pencampuran dibutuhkan kecepatan dari suatu alat pencampur. Kecepatan komponen-komponen cairan yang dicampurkan disebabkan oleh pengadukan, dan kecepatan pengadukan tersebut terdiri dari : (1). Kecepatan radial yang berfungsi sebagai arah ke pengaduk, (2). Kecepatan longitudinal, paralel dengan pengaduk, dan (3). Kecepatan rotasional, tangensial ke pengaduk. Tenaga   motor   pengaduk   sangat tergantung kepada sifat bahan pangan, jumlah konsistensi bahan pangan yang dicampur, posisi, jenis, kecepatan, dan ukuran impeller.
Untuk mencapai kesempurnaan pencampuran, kecepatan radial dan longitudinal yang diberikan dalam proses pencampuran semaksimum mungkin dengan cara menempatkan baffle pada tangki pencampur, menempatkan pengaduk pada posisi off-centre atau pengaduk dengan posisi miring pada sudut tertentu.
Derajat pencampuran dapat dikarakterisasi dari waktu yang dibutuhkan, keadaan produk atau bahkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk melakukan pencampuran. Derajat keseragaman pencampuran diukur dari sampel yang diambil selama pencampuran, jika komponen yang dicampur telah terdistribusi melalui komponen lain secara random, maka dikatakan pencampuran telah berlangsung baik.
Faktor-faktor  yang  mempengaruhi  pencampuran   antara  lain adalah: ukuran  partikel, bentuk,  dan  densitas  dari  masing-masing  komponen,   efisiensi alat pencampur untuk masing-masing komponen, kadar air permukaan bahan pangan, dan karakteristik aliran masing-masing bahan pangan (Fellows, 1988).
Sedangkan proses pencampuran bahan baku pembuatan bubuk deterjen pada mitra usaha mensyaratkan pencampuran pada putaran tinggi karena semua bahan baku sudah berupa bubuk yang mudah menggumpal.
Pencampuran ini terjadi pada mesin mixer dengan proses pencampuran yang dilakukan dengan menggunakan variabel volume,  kecepatan putaran, serta bentuk dan tipe  blade. Sehingga diharapkan dengan variael tersebut didapatkan proses pencampuran yang homogen.
Laurent.B.F.C, 2000, meneliti mixer silindris horizontal untuk bubuk (powder) dengan diameter 270 mm dan panjang 650 mm dengan single long flat blade dengan tingkat pengisian bervariasi antara 20 dan 70% dan kecepatan yang digunakan bervariasi antara 20 dan 45 rpm. Koefisien penyebaran maksimum terjadi pada  tingkat pengisian 40%.


Gambar 2.1 Mixer silindris horizontal
Gambar 2.2 Root mean square of the radial displacement RMSr after one blade rotation
Namun seiring berkembangnya waktu dan perkembangan tekhnologi AVA-Huep GmbH u. Co. KG, mengembangkan mixer untuk bahan bubuk (powder) berbentuk kerucut terbalik dengan penghasut single atau double helix. Keuntungan pemakaian mixer jenis ini adalah resiko terjadinya kontaminasi kecil, intensitas pencampuran dapat diatur, mudah dibersihkan dan dirawat. Mixer ini dapat berfungsi sebagai pengering (dryer) dan evaporator. Namun dalam penganalisaan yang akan kami lakukan menggunakan jenis mixer tegak lurus horizontal dengan sudut 30°.




2.3      Karakteristik  Peralatan Mixing
Prinsip kerja yang digunakan pada mixing ( pengadukan ) adalah sistem Mixing  ( pengadukan ) dengan bantuan model bentuk Blade yang diputar dengan menggunakan  motor listriik. Bahan-bahan detergen yang akan dikombinasikan dimasukkan ke dalam bak pengaduk, sehingga didapati proses mixing ( pengadukan ) pada bak pengaduk.
Pada proses pencampuran. Dikenal berbagai alat pencampur atau mixer. Peralatan tersebut dapat dibagi atau diklasifikasikan dalam beberapa kategori antara lain : Berdasarkan jenis bahan yang dicampur yaitu alat pencampur liquid (liquid mixer), alat pencampuran granula (powder and particles mixer), dan alat pencampur pasta (dough and paste mixers), dan berdasarkan jenis agitator, double cone mixer, ribbon blender, planetary mixer, propeller mixer.
Prinsip percobaan pencampuran adalah berdasarkan pada peningkatan pengacakan dan distribusi dua atau lebih komponen yang mempunyai sifat yang berbeda. Derajat pencampuran dapat dikarakterisasi dari waktu yang dibutuhkan, keadaan produk atau bahkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk melakukan pencampuran.
Proses mixing dilakukan agar pencampuran bahan-bahan deterjen yang akan dibuat dapat diketahui dengan pasti antara komposisinya dan kapasitas pada waktu proses pengadukkan berjalan.
Untuk menentukan jenis dari alat pencampur tergantung pada jenis bahan yang akan di campurkan (cairan, padatan, atau gas), kecepatan alat yang diinginkan serta kekentalan dari suatu bahan tersebut. Alat pencampur ini dikelompokan menurut kekentalan  yaitu :
a.     Alat pencampur untuk bahan cair yang memiliki viskositas yang
rendah-sedang,
b.     Alat pencampur untuk bahan cair yang memiliki viskositas tinggi dan
pasta,
c.     Alat pencampur untuk tepung yang kering atau padatan  (Fellows,
1999).
Alat pencampur jenis propeller adalah jenis alat yang paling baik digunkan untuk bahan yang memiliki viskositas tinggi (pasta). Alat ini terdiri dari tangki silinder yang dilengkapi dengan propeller/blades beserta motor pemutar. Bentuk propeller, impeller, blades didesain sedemikian rupa untuk efektifitas pencampuran dan disesuaikan dengan kepadatan bubuk detergen. Pada jenis alat pencampur ini diusahakan untuk dihindari tipe aliran monoton yang berputar melingkari dinding tangki yang sangat kecil konstribusinya terhadap pengaruh pencampuran. Untuk itu kadang-kadang propeller harus diputar sedikit hingga persis simetris terhadap dinding tangki, penambahan sekat-sekat (baffles) pada diding tangki juga dapat menciptakan pengaruh pengadukan, namun menimbulkan masalah karena sulit dibersihkan (Brennan, 1974).
Karena alat yang digunakan adalah jenis alat propeller maka untuk mencari nilai Np (Power Number) menggunakan kurva 4, dimana sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu nilai NRe (Bilangan Raynold). 
Bilangan Reynold dapat dirumuskan sebagai berikut :
Nre = Da2 . N. ρ camp
      µ camp
Dimana Da adalah diameter impeller (agitator) dengan satuan m, N adalah kecepatan pemutaran dengan satuan rev/s,  ρ adalah kerapatan fluida dengan satuan kg/m3, dan µ adalah viskositas dengan satuan kg/m.s. NRe< 10 maka alirannya laminer, jika  NRe > 104 maka alirannya turbulen dan untuk nilai NRenya diantara 10 dan 104 maka alirannya adalah transisi (Geankoplis, 1997).
Power Number bergantung pada kerapatan cairan (ρ), kekentalan fluida (µ), kecepatan pemutaran (N), dan Da adalah diameter impeller (agitator), dengan menghubungkan nilai Np dan nilai NRe, dimana P adalah daya dengan satuan J/s atau lt.lbr/s (Geankoplis, 1997).
Campuran bahan-bahan penghasil detergen tadi dihomogenkan dengan melakukan berbagai macam percobaan penggantian jenis blade sehingga tampilan campuran detergen terlihat homogen.

Theory making crusher machine


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.       Teori Dasar
2.1.1                                  Pengertian Sampah
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka Sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya.
Sampah berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan  berkesinambungan yang meliputi pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Penelitian di Perumahan Dayu Permai Yogyakarta menghasilkan bahwa jumlah sampah organik yang dihasilkan oleh setiap orang per hari adalah 0,14 kg dan berat jenis rata-rata sampah organik adalah 128,87 kg/m3 ( Rizky Rizaldi, 2008) .
Sampah-Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi:
1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sampah sisa sayuran, Sampah sisa daging, Sampah daun dan Sampah lain-lain.
 2) Sampah yang tidak mudah membusuk seperti Sampah plastik, Sampah kertas, Sampah karet, Sampah logam, Sampah sisa bahan bangunan dan sampah lain-lain.
3)  Sampah yang berupa debu/abu.
4) Sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari sampah industri dan Sampah rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya.

Berdasarkan sifatnya, sampah dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1.    Sampah Organik yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos.
2.    Sampah Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya. Beberapa sampah anorganik yang dapat dijual adalah plastik wadah pembungkus makanan, botol dan gelas bekas minuman, kaleng, kaca, dan kertas, baik kertas koran, HVS, maupun karton;



Berikut adalah contoh gambar sampah organik yang dapat diolah menjadi bahan baku bioetanol :
sampah organik








Gambar 2.1. sampah organik

2.2.                          Konsep Perencanaan Konstruksi Mesin
Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam suatu perancangan mesin, maka dibutuhkan teori perancangan konstruksi mesin yang benar agar mesin dapat digunakan sesuai dengan fungsinya. Pada perancangan mesin ini, elemen mesin yang diperhitungkan adalah:
a.         Daya motor
b.        Transmisi Pully dan V-belt
c.         Flywheel
d.        Poros
e.         Pasak
f.         Bantalan


2.2.1                                  Motor
Motor listrik adalah sebuah perangkat elektromagnetis yang mengubah energi listrik menjadi energi mekanik. Secara umum prinsip kerja dari motor listrik yaitu :
  1. Arus listrik dalam medan magnet akan memberikan gaya Jika kawat yang membawa arus dibengkokkan menjadi sebuah lingkaran/loop, makakedua sisi loop, yaitu pada sudut kanan medan magnet, akan mendapatkan gaya arah yang berlawanan.
  2. Pasangan gaya menghasilkan tenaga putar/ torque untuk memutar kumparan. Motor-motor memiliki beberapa loop pada dinamonya untuk memberikan tenaga putaran yang lebih seragam dan medan magnetnya dihasilkan oleh susunan elektromagnetik yang disebut kumparan medan.
 Ada 2 tipe motor listrik, yaitu:
  1. Motor listrik AC, jenis - jenisnya yaitu :
a.       Satu fase, terdapat tiga belitan pada statornya yang menghasilkan medan putar dan pada rotor sangkar terjadi induksi dan interaksi torsi yang menghasilkan putaran.Motor listrik jenis ini hanya dapat berputar satu arah saja.
b.      Tiga fase memiliki dua belitan stator, yaitu belitan fasa utama dan belitan fasa Bantu.Motor listrik jenis ini dapat berputar 2 arah.


  1. Motor listrik DC, jenis – jenisnya yaitu:
a.       Motor listrik DC Shunt, terdapat gulungan medan yang disambungkan secara paralel dengan gulungan dinamo.
b.      Motor listrik DC seri, terdapat gulungan medan yang dihubungkan secara seri dengan dinamo.
c.       Motor listrik campuran, yaitu gabungan dari shunt dan seri.
Pada perancangan mesin ini menggunakan motor listrik AC tipe satu fase.
2.2.2.                              Daya
Daya merupakan besar usaha atau energi tiap satu satuan waktu, dirumuskan sebagai berikut:
60
 
P = T . ω atau P = T . 2.π.n           ( K. Gieck,2005 )
Dimana :
 T = torsi ( Nm )
ω = kecepatan sudut ( rad/s )
n  = Kecepatan ( rpm )
Torsi dapat dicari dengan menggunakan rumus :
T = F .R                                   ( K. Gieck,2005 )
Dimana :
            F = gaya potong pada pisau ( N )
            R = jari jari ( m )
Torsi juga dapat dicari menggunakan rumus :
            T = I . α                                 ( Khurmi, 1980 )

Dimana  :
            T  = Torsi ( N.M )
            I  = Momoen inersia ( kg.m³ )
α  = Percepatan sudut ( Rad/det² )     
Gaya potong pada pisau dapat dicari menggunakan rumus :
            F = A . fs                                         ( K. Gieck,2005 )
Dimana :
            A = luas penampang bidang yang dipotong ( cm )
            fs = tegangan geser bahan yang dipotong ( kg/cm2 )
                   tegangan geser sampah sayuran/dedaunan = 0,067 kg/cm2
Dalam suatu perancangan mesin digunakan daya rencana  yang dirumuskan :
            Pd = fc . P                             ( Sularso,1985 )
Dimana :
            fc = faktor koreksi
            P = daya ( KW )

Berikut ini adalah  tabel dari faktor koreksi untuk menghitung daya rencana  :

Tabel 2.1. Faktor koreksi
Daya yang akan ditransmisikan
Faktor koreksi
Daya rata rata yang diperlukan
1,2 -2,0
Daya maksimum yang diperlukan
0,8 – 1,2
Daya normal
1,0 – 1,5



2.2.3.                               Pully
Pully adalah elemen mesin yang berfungsi mentransmisikan daya dari motor ke poros dengan menggunakan sabuk.Pully dapat dibuat dari besi tuang, baja yang dicetak.Pully  pada umumnya terbuat dari besi tuang karena harganya yang murah.
Diameter pully yang digerakkan, dirumuskan :


 
                                                                       (Khurmi, 1980)

Dimana :
D2 =  diameter pully yang digerakkan ( mm )
D1 = diameter pully penggerak ( mm )
 n1 =  Putaran pully penggerak ( mm )
n2 =  Putaran pully yang digerakkan ( mm )

Diameter kepala pully dirumuskan :      De = Dp + 2k                ( Sularso,1985 )     
Dimana :
Dp = diameter pully penggerak ( mm )
k   = tinggi kepala

Lebar pully dirumuskan :   b = 2 . f                 ( Sularso,1985 )
Dimana :
b = Lebar pully ( mm )
f = konstanta
Volume pully dirumuskan :                                                                                                           
(Khurmi, 1980)
 
. 90 %
 
Text Box: π.b.(de)2
     4
                                                       
V =                                                                                                    

Dimana :
de = diameter kepala pully ( mm )
b   = lebar pully ( mm )

Berat pully dirumuskan :       W = V . ρ              ( Sularso,1985 )
Dimana :
V = volume ( m3 )
 ρ = massa jenis ( kg/m3 )
aluminiun    = 2,8 x 103 kg/m3

2.2.4.        V-belt
Sebagian besar sabuk transmisi menggunakan sabuk “ V ”, karena mudah penggunaanya dan harganya cukup murah.Selain itu sistem transmisi ini dapat menghasilkan transmisi daya yang besar pada tegangan yang relatif rendah.dalam perhitungan besarnya daya yang ditransmisikan tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1.        Kecepatan linier sabuk
2.        Tegangan sabuk yang terjadi
3.        Bentuk sisi kontak sabuk dan pully
4.        Kondisi sabuk yang dipakai



Picture 072



Gambar 2.2. Sabuk dan Pully
Bahan bahan V-Belt yaitu
1.         Kulit
2.         Anyaman benang
3.         Karet
Picture 072Bagian – bagian V – belt

           






Gambar 2.3.  Bagian – bagian V – belt
Jenis – jenis V – Belt
a)        Tipe standart; ditandai huruf A, B, C, D, & E
b)        Tipe sempit; ditandai sombol 3V, 5V, & 8V
c)        Tipe untuk beban ringan ; ditandai dengan 3L, 4L, & 5L




Picture 068 







             
Gambar 2.4. Ukuran penampang sabuk – V
Kelebihan V – Belt :
1.        V – Belt lebih kompak
2.        Slip kecil dibanding flat besi
3.        Operasi lebih tenang
4.        Mampu meredam kejutan saat start
5.        Putaran poros dalam 2 arah & posisi kedua poros dapat sembarang
Kelemahan V – Belt :
1.        Tidak dapat digunakan jarak poros yang panjang
2.        Umur lebih pendek
3.        Konstruksi pulley lebih kompleks dibanding pulley untuk flat besi







Picture 068Diagram pemilihan sabuk















Daya rencana ( Pd )
 
 


                                   Gambar 2.5. Diagram Pemilihan Sabuk                                  

Langkah pemilihan V- belt :

1.        Menghitung efisiensi transmisi V – Belt 90-98%
       Daya desain =               daya nominal x faktro pemakaian
               Faktor koreksi panjang x  faktor koreksi sudut kontak
2.        Menghitung daya nominal dan daya putaran
3.        Memeilih pully penggerak dan yang digerakkan bedasarkan perbandingan kecepatan & diameter minimum
4.        Menghitung jarak antara sumbu poros ( C )
5.        Menghitung torsi pada pully kecil bedasarkan daya desain & putaran kemudian dihitung tarikan pada belt yang tegang
6.        Tarikan belt maks Tarikan maks yang diijinkan belt
7.        Pilih pemanpang belt yang lebih besar
8.        gunakan lebih dari satu belt

V – Belt Variable speed drives :
1.    Posisi V – Belt dapat berubah di dalam groove  jika   jarak  shaft driven dan driving bergeser
2.    Pulley dapat meregang dan merapat 
3.    Kecepatan belt direncanakan antara 10 – 20 m/s, maks 25 m/s
4.    Daya maks yang dapat di transmisikan ± 500 KW
5.    Driven pulley dapat berupa flat atau faced pulley
6.    V – Belt tidak dapat digunakan pada center distance yang terlalu besar
7.    V – Belt biasa digunakan untuk menurunkan putaran, perbandingan reduksi   i ( i > 1 )
8.   Menentukan panjang keliling sabuk
                        ( Sularso,1985 )
Dimana :
       L    = panjang sabuk (mm)
      C   = jarak sumbu poros (mm)     (C =1,5 Dp)
      Dp = diameter poros besar (mm)
      Dp = diameter poros kecil (mm)
9.        Kecepatan linier V – Belt :
      V =    d p .n 1                                  ( Sularso, 1985 )
                60 .1000
Dimana :
      V   = kecepatan sabuk (m/s)
      Dp = diameter puli penggerak (mm)
      N1   = putaran puli penggerak (rpm)
10.    Sudut kontak :
                    ( Sularso,1985 )
11.    Tarikan sisi kendor (T2) dan tarikan sisi kencang (T1) pada sabuk :
                      ( Sularso,1985 )

Dimana :
      T1 = Tarikan sisi kencang (kg)
      T2 = Tarikan sisi kendor (kg)
       koefisien gesek untuk puli berbahan aluminium dengan sabuk
              adalah   0,3
      Sudut kontak (rad)
Aplikasi V- Belt :
1.        Penerus daya mesin kecepatan tinggi seperti kompresor, dll
2.        Kipas radiator
3.        Mesin – mesin pertanian
4.        Mesin industri

2.2.5.                                Flywheel
Flywheel adalah suatu massa berputar yang digunakan sebagai reservoir energi dalam sebuah mesin. Apabila kecepatan berkurang energi akan dilepaskan oleh flywheel dan bila kecepatan bertambah energi akan disimpan dalam flywheel.
Ada 2 jenis mesin yang mengambil manfaat dari flywheel yaitu :
a.                   Mesin sejenis pres pelubang, dimana operasi pelubangan dilakukan secara berkala. Energi diperlukan dalam sesaat dan hanya selama opersi pelubangan. Untuk kebutuhan seperti ini ada 2 pilihan yaitu :
1)        Memakai satu motor besar yang mampu memberikan energi saat diperlukan.
2)        Memakai satu motor kecil dan satu flywheel, dimana motor dapat memberikan energi secara berangsur angsur selama waktu pelubangan tidak dilakukan.
b.                  Mesin sejenis mesin uap atau motor bakar, dimana energi disuplai ke mesin dengan laju yang hampir konstan. Jika sebuah motor bakar menggerakkan sebuah generator listirk, maka kecepatan yang berubah ubah tidak dikehendaki, apalagi untuk sistem penerangan.

















Gambar 2.6. flywheel

            Dalam perancangan flywheel dapat menggunakan rumus perhitungan berikut ini :
Daya yang direduksi ( Nr ) dapat dicari dengan rumus :
Tk
 
Nr  =  Wk             

Dimana :
Nr  = daya yang direduksi ( HP )
Wk = Energi total yang dibutuhkan dalam siklus pemotongan
         ( kg m )
Tk  = waktu total pemotongan ( detik )
Untuk mengetahui besarnya Wk, maka perhitungannya sebagai berikut :
Wk = N awal x T real




Dimana :
Wk        = Energi yang tersedia untuk  siklus
                      pemotongan ( kg m )
N awal  =  daya awal yang akan direduksi ( HP )
T real    =  waktu real pemotongan ( detik )
Dalam mencari energi yang diperlukan dalam real siklus pemotongan,
perhitungannya adalah :
Tk

 
Wm  = Wk . T real                        
                
Dimana :
Wm  =  energi yang dibutuhkan dalam real siklus pemotongan ( kg m )
Wk   = Energi yang tersedia untuk siklus pemotongan ( kg m )
T real    =  waktu real pemotongan ( detik )
Tk  = waktu total pemotongan ( detik )
Dalam perhitungan di atas akan tercapai energi yang disimpan dalam flywheel dengan cara sebagai berikut :
E = Wk – Wm
Dimana :
E      = energi yang disimpan dalam flywheel ( kg m )
Wk   =  Energi yang tersedia untuk siklus pemotongan ( kg m )
Wm  =  energi yang dibutuhkan dalam real siklus pemotongan  ( kg m )



Energi yang tersimpan dalam flywheel kemudian digunakan untuk menghitung
dimensi flywheel.mencari besarnya fluktuasi energy dengan cara yaitu :
∆ E = 2 . Cs . E                                   ( Khurmi, 1980)

Dimana :
∆ E = fluktuasi energy ( kg m )
Cs  = koefisien speed, mesin crusher = 0,2
E = energi yang disimpan dalam flywheel ( kg m )
Fluktuasi energy digunakan untuk mencari berat flywheel, berikut ini uraian
rumusnya yaitu :
g
 
∆ E =  W  . r 2 .  ω 2 . Cs                    (Khurmi, 1980)

Dimana :
      ∆ E = fluktuasi energy ( kg m )
      W   = massa flywheel ( kg )
       R    = jari jari ( m )
       ω    = kecepatan sudut ( rad / s )
Massa flywheel dapat dihitung menggunakan  rumus :
 W = A . 2π r . ρ                              (Khurmi, 1980)

Dimana :
       W = massa  flywheel ( kg )
       A = luas penampang flywheel ( cm 2 )
       r   = jari jari ( cm )
        ρ = massa jenis bahan flywheel ( kg / cm3  )
 massa jenis besi cor = 0,0072  kg / cm3
Daya dari motor mesin harus mampu menggerakkan Flywheel itu sendiri, untuk
mengetahuinya dapat dicari dengan rumus :
 P = T . ω
Dimana :
       P = daya untuk menggerakkan flywheel ( HP )
       T = Torsi ( Nm )
       ω  = kecepatan sudut ( rad / s )
Torsi dihitung dengan menggunakan rumus :
       T = I . a
Dimana :
       T = torsi ( Nm )
        I = Momen inersia ( kg m / s )
        a = percepatan ( rad / s2 )
Sedangkan untuk menentukan momen inersia,perhitungannya adalah :
2g
 
        I =  w  r 2                                     (Khurmi, 1980)

                               
Dimana :
I   = momen inersia ( kg m / s )
      W = massa flywheel ( kg )
      r   = jari jari ( m )
      g  = gaya gravitasi ( m / s2 )

2.2.6.        Poros
Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dair setiap mesin, yaitu berfungsi sebagai penerus tenaga bersama dengan putaran . Dalam merencanakan poros hal - hal yang peru diperhatikan :
1.             Kekuatan poros
Suatu poros transmisi dapat mengalami beban puntir atau lentur gabungan antara puntir dan lentur. Dalam perancangan poros perlu memperhaitkan beberapa faktor  misalnya : kelemahan, tumbukan dan pengaruh kosentrasi bila menggunakan poros bertangga ataupun penggunaan alur pasak pada poros tersebut. Poros yang dirancang harus cukup aman untuk menahan beban yang bekerja.
2.             Kekakuan poros
Meskipun sebuah poros mempunyai kekuatan yang cukup aman dalam menahan pembebanan, tetapi adanya lenturan atau defleksi yang terlalu besar akan mengakibatkan ketidak telitian (pada mesi perkakas), getaran mesin, & suara. Oleh karena itu disanping memperhatikan kekuatan poros, kekakuan poros juga harus diperhatikan dan disesuaikan dengan jenis mesin yang akan ditransmisikan dayanya dengan poros tersebut.
3.             Putaran kritis
Bila putaran mesin dinaikkan maka akan menimbulkan getaran pada mesin tersebut. Batas antara putaran mesin  yang mempunyai jumlah putaran normal dengan putaran mesin yang menimbulkan gesekan yang tinggi disebut putaran kritis. Hal ini dapat terjadi pada turbin, motor bakar, motor listrik, dll. Salain itu,  timbul getaran yang tinggi dan dapat mengakibatkan kerusakan pada poros dan bagian – bagian lainnya. Jadi dalam perancangan poros perlu diperhatikan putaran kerja dari poros tersebut agar lebih rendah dari putaran kritisnya.
4.             Korosi
   Apabila terjadi kontak langsung antara poros dengan fluida korosif maka akan mengakibatkan korositas pada poros tersebut, misalnya propelier shaft pada pompa air. Oleh karena itu pemilihan bahan poros yang tahan korosi perlu diperhaitkan.
5.             Material poros
   Poros yang biasa digunakan dalam putaran tinggi dan bebas yang berat pada umumnya dibuat dari baja paduan denga proses pengerasan kulit sehingga tahan terhadap kausan. Beberapa diantaranya adalah baja khrom nikel, baja khrom, baja khrom molibden, dll.
            Sekalipun demikian, baja paduan khusus tidak selalu dianjurkan jika alasannya hanya putaran tinggi dan pembebanan yang berat saja. Dengan demikian perlu dipertimbangkan pemilihan jenis heat treatment yang tepat untuk kekuatan maksimal. Dalam perhitungan poros dapat diketahui dengan melihat dari pembebanan :
Torsi yang terjadi pada poros :
T = (T1 - T2 ). R                                                (Sularso, 1985)
Dimana :
      T  = Torsi pada poros (Nm)
      T1 = Gaya tegang pada sisi kencang sabuk (kg)
T2 = Gaya tegang pada sisi kendor sabuk (kg)
      R  = Radius pulley (mm)
      P  = Daya (watt)
N = Putaran poros (rpm)

Momen bending yang terjadi pada poros :
M = F . L                                    ( Sularso, 1985 )           
     
Dimana :
M = Momen bending (kg mm)
F = Gaya yang terjadi (kg)
L = Panjang atau jarak terhadap gaya (mm)

Momen Equivalen
                           ( Sularso, 1985 )        
Dimana :
Te = Momen Equivalen (kg mm)
M = Momen bending Atau lentur (kg mm)
T = Torsi atua momen puntir (kg mm)

Diameter Poros
                              ( Sularso, 1985 )         
                      
Dimana :
D = Diameter poros (mm)
Fs = Tegangan geser (kg/mm2)

2.2.7.                                Ball Bearing atau Bantalan
Bantalan adalah elemen yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau beratan bolak – baliknya dapat berlangsung secara halus aman dan panjang umur. Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a.              Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros.
1.        Bantalan luncur
   Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalandengan perantara lapisan pelumas.
2.        Bantalan gelinding
            Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru) atau rol jarum dan rol bulat.

b.             Atas dasar arah dan beban terhadap poros.
1.        Bantalan radial
       Arah beban yang ditumpu bantalan ini adalh tegak lurus sumbu poros.
2.        Bantalan Aksial
       Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros.
3.        Bantalan gelinding khusus
       Dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan tegak lurus sumbu poros.
       Beban equivalen dinamis :
We = (Xr.V.Wr+Ya.Wa).Ks                  ( Sularso, 1985)
Dimana :
We = Beban Equivale dinamis (kg)
Xr = Faktror radial
V = Faktor rotasi
Wr = Beban radial (kg)
Wa = Beban Aksial (kg)
Ks = Faktor servis
Ya = Faktor aksial

Umur bantalan :
               ( Sularso, 1985 )
Dimana :
L = Umur bantalan (jam)
C = Kapasitas nominal dinamis
    We = Beban equivalen dinamis
      = Exponen yang ditentukan oleh jenis bantalan
      = 3 untuk bantalan bola
      = 3,33 untuk bantalan rol



Umur dalam jam
                      ( Sularso, 1985 )
Dimana :
Lh = Umur bantalan (jam)
L   = Umur rata – rata bantalan (putaran)
N  = Putaran poros utama (rpm)
Berikut adalah jenis – jenis bantalan yang sering digunakan dalam pembuatan mesin, yaitu:


Picture 069
 

















Gambar 2.7. Macam –macam Bantalan Gelinding

2.2.8.             Pasak
Pasak adalah suatu elemen yang dipakai untuk menerapkan bagian – bagian sepeti roda gigi, spoket pully, kopling, dan lain – lain pada poros momen. Diteruskan dari poros ke naf atau dari naf ke poros.
Gaya yang terjadi pada pasak :    
T = F . S
Dimana :
T   = Torsi poros (kg.m)
F   = Gaya pada pasak (kgf)
S   = Jarak poros dengan pasak (m)
Perhitungan tegangan geser :
                         ( Sularso, 1985 )
Dimana :
 = Tegangan geser (N/mm2)
F   = Gaya pada baut (kgf)
Dc            = Diameter dalam ulir (mm)









Gambar 2.8. pasak